“Benar Indonesia telah menjadi tanah merdeka, tapi belum dengan manusianya”
Pasca penaklukkan Konstantinopel oleh Daulah Ustmani telah menjadi tanda jatuhnya kekaisaran Byzantium yang telah berkuasa atas tanah eropa sejak ratusa tahun silam. Negara-negara Eropa berlomba-lomba untuk menemukan tanah yang baru, guna membentuk koloni, mencari harta serta menyebarkan agama yang mereka anut. Tersebutlah dua negara yang mengirimkan ekspedisinya ke negeri-negeri timur jauh seperti India, China dan Nusantara, Portugis dan Spanyol
Seorang palut ulung, Alfonso de Albuquerque memimpin armadanya untuk menaklukkan Kesultanan Malaka, tahun 1511. Setelah itu armada yang dipimpin Alfonso bergerak untuk menaklukkan Maluku tahun 1512, sejak saat itu kepulauan Maluku sudah tidak lagi menjadi negeri yang merdeka. Portugis mengirimkan armadanya untuk mendapatkan rempah-rempah sebagai simbol kemulian (gold) pada masa itu.
Setelah 84 tahun setelah Alfonso, Cornelis de Hotman tiba di Banten. Tujuannya sama, Gold, Glory dan Gospel. Tahun 1596 adalah awal cerita Belanda yang menjadikan Nusantara sebagai koloni dan dikemudian hari lebih dikenal dengan sebutan Hindia Belanda. Belanda baru melepaskan Indonesia sebagai negara merdeka tahun 1949, kalau kita berhitung sejak zaman portugis, belanda dan jepang, kita sebagai bangsa yang hidup di gugusan Nusantara dijajah 437 tahun. Pertanyaannya kemudian apakah kita sudah merdek secara sempurna, sebagaimana ungkapan Tan Malaka merdeka 100 %?, rasa-rasanya kemerdekaan kita belumlah paripurna.
1945, tepatnya 1 Juni pada sidang BPUPKI para pendiri bangsa berpidato tentang dasar negara ini. Soekarno kemudian mencetuskan 5 asas sebagai pedoman berbangsa dan bernegara kita, Pancasila, begitulah sebutan asas itu. Sila yang berpedoman pada Ketuhanan berkebuyaan itu kemudian disempurnakan pada rapat panitia sembilan. Rapat itu memutuskan sebuah asas yang kelak memicu keributan tanpa henti, Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi para pemeluk-pemeluknya. Sejak asas itu di gaungkan bangsa ini seolah pecah pada dua kubu, kubu Nasionalis dan Islam. Kemudian terbentuklah Konstituante hasil pemilu pertama tahun 1955, Partai Nasional Indonesia keluar sebagai pemenang. Konstituante ini kemudian menjadi ajang adu gagasan para pemikir bangsa tentang Asas bernegara Indonesia. Konstituante kemudian dibubarkan dengan dekrit presiden tahun 1959.
Apakah kita telah merdeka? Tanya seorang kawan. Berdasarkan fakta sejarah kita, bangsa Indonesia belumlah merdeka. Di segala lini kehidupan kita sebagai bangsa dijajah, bukan dalam kondisi fisik, tapi budaya dan ekonomi. Berapa banyak diantara anak bangsa ini tidak lagi peduli dengan tata krama. Berapa banyak diantara kita, yang merasa bangga dengan budaya orang lain tapi lupa peduli dengan budaya bangsanya sendiri. Setelah budaya pop dari barat menjamur pada era 70 an hari ini, kita dihadapkan pada budaya pop dari timur. Berkembangnya teknologi dan informasi, menjamurnya media sosial, semakin sulit kita sebagai anak bangsa memfilter informasi yang merusak generasi muda. Tapi, sebagaimana cahaya matahari yang selalu bersinar di pagi hari, harapan itu tetap akan ada. Manusia-manusia muda Indonesia yang peduli dengan budaya bangsanya akan selalu ada menyinari negeri ini.
Negeri ini memiliki banyak masalah, salah satunya terjadi pada 2016. Basuki Cahaya Purnama atau Ahok Gubernur DKI Jakarta priode 2011 – 2016 yang menggantikan Joko Widodo setelah dia terpilih menjadi Presiden Republik Indonesia pada pemilu 2014. Polemik ucapan Ahok mengenai surah Al Maidah memicu aksi bela islam berjilid-jilid. Tidak hanya sampai pada titik aksi itu, keterbelahan bangsa ini terasa hingga sekarang. Sebutan Kadrun (Kadal Gurun) dan Cebong. Sebutan-sebutan itu menggema dari ujung negeri. Rasa-rasanya bangsa ini sudah sering mengalami keterbelahan seperti itu, persoalan Ketuhanan tidak pernah selesai sejak penghapusan 7 kata dalam pancasila. Apakah generasi muda kita akan selalu terbelah? Apakah kata persatuan Indonesia hanyalah kata semu tanpa makna? Kita berharap, anak bangsa sudah lebih memahami arti toleransi, tidak lagi mempermasalahkan perbedaan, sudah tidak lagi mempersoalkan Tuhan, mari kita saling memahami dan bergandengantangan untuk menuju persatuan Indonesia, bukankah pelangi itu indah karena banyknya warna? Bukan karena satu warna. Persatuan Indonesia, Keadaban Manusia Indoneisa harus menjadi fokus kita sebagai bangsa. Islam, Kristen, Hindu dan Budha melebur menjadi satu, yaitu Indonesia.
Keadilan adalah masalah paling pelik di Indonesia. Keadilan adalah penilaian dengan memberikan kepada siapapun sesuai dengan apa yang menjadi haknya, yakni dengan bertindak proposional dan tidak melanggar hukum. Keadilan berkaitan erat dengan hak, dalam konsepsi bangsa Indonesia hak tidak dapat dipisahkan dengan kewajiban. Keadilan di negeri ini hanya memihak mereka para peguasah, dan para pengusaha. Rakyat kecil? Jangan ditanya. Sering kita baca seorang nenek mencuri singkong ataukah pisang untuk makan sehari-hari divonis 5 tahun penjara, sedang para penjabat yang koruptor divonis sama, 5 tahun. Mana kejahatan paling mematikan? Pencuri singkong, ataukah para pejabat rakus yang mencuri dan memakan keringat rakyatnya sediri?
Keadilan di Indonesia ibarat dongeng pengantar tidur, indah namun tidak nyata. Baru-baru ini Juliasari Batubara eks Menteri Sosial, korupsi bansos hingga miliaran rupiah, namun berapa vonisnya? 12 tahun penjara. Padahal, ketua KPK pernah mengungkapkan bahwa korupsi Bansos dikala pandemi bisa jadi hukuman mati. Kenyataannya jauh berbeda, mereka para korupto atau maling berdasi itu hanya mendapatkan hukuman seminimal mungkin dan setelah itu bebas untuk dipilih lagi menjadi wakil-wakil rakyat.
Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia adalah sila yang diyatimkan. Lantang digaungkan, lantang pula untuk diingkari. Tidak ada keadilan bagi mereka yang tidak punya uang. Pancasila nilai dari republik ini, buah pikiran dari bapak pendiri bangsa yang bijaksana semoga merasuk ke sanubari kita menjadi nilai yang menggerakkan bangsa ini, menjadi bangsa Adil dan Makmur. Merdeka itu sederhana jika kita bisa hidup berdampingan dengan perbedaan, Bijaksana dalam mengambil sikap dan Adil dalam menilai dan mengambil keputusan itu adalah merdeka 100%.
“Pancasila, mulia dalam kata dikhianati dalam perbuatan”
Penulis : AGp