SEKILAS INFO
: - Thursday, 21-11-2024
  • 2 bulan yang lalu / Pendaftaran Cendekaiwa Muslim IX Telah di Buka Loooh!! Sudah daftar belum?
  • 5 tahun yang lalu / Selamat datang di website resmi Muhammadiyah Boarding School (MBS) Tarakan.
ROMANTISME LITERASI : LEBIH MEMILIH BUKU CETAK ATAU DIGITAL?

oleh : Okta Arianti

Sejalan dengan waktu, pada saat ini atau mungkin memang sudah sejak dulu sudah ada. Apa itu? Masih kurangnya literasi bagi setiap pelajar di Indonesia. Daripada negara lain, Indonesia masih dikatakan jauh akan budaya literasinya. Literasi yang mengacu pada membaca dan menulis inilah yang berarti masih belum meratanya daya minat pelajar pada hasrat menulis dan membaca. Makin kesini literasi pun bukan berarti baca tulis saja, literasi sudah lebih luas lagi cakupannya.

Dalam membudayakan literasi, kita juga perlu siap untuk melihat kemajuan di masa depan. Apalagi tahun ini, Indonesia bahkan hampir seluruh negara di dunia sedang menghadapi virus yang bernama Covid-19 yang dapat mematikan setiap orang yang mengidapnya dan entah sampai kapankah pandemic ini berakhir. Lalu bagaimana cara kita untuk menyikapi masih rendahnya literasi di Indonesia bagi setiap pelajar? Menurut Khoiri, ada tiga sikap yang harus kita miliki, seperti sikap positif, kreatif dan kemampuan adaptif (Nurcahyo Y Hermawan, 2020).

Hasrat minat baca yang masih minim

Menurut data UNESCO tahun 2012, angka minat baca pada anak Indonesia hanya 0,001 persen saja. Yang artinya, hanya ada 1 dari 1.000 anak yang memiliki minat baca serius. Bukan itu saja, berdasarkan penelitian Program for International Student Assessment (PISA) rilisan Organisation for Economic Co-Operation and Develompent (OECD) tahun 2015 menunjukkan, Indonesia berada pada peringkat 62 dari 70 negara. Respondennya anak-anak sekolah usia 15 tahun dengan sampel sekitar 540 ribu orang.

Dari pandangan skala angka tersebut lah kita mampu menebak. Digital, ya pasti sudah tidak asing bukan? Jika sudah mendengar kata tersebut. Yang dimana digital

lah yang sangat berperan penting bagi kaum milenial di situasi seperti sekarang ini, para pelajar pun sudah mulai mengenal digital untuk keperluan belajarnya, sebut saja daring, melaui berbagai media seperti google classcroom, google meet, zoom meeting, whatsapp dan berbagai aplikasi belajar yang canggih lainnya. Padahal mereka masih di usianya yang masih duduk di sekolah dasar sekali pun.

Ya tidak heran jika setiap anak akan berketergantungan dengan smartphone nya. Mungkin tetap memakai buku cetak pelajarannya, jika memang gurunya menyuruh si anak membukanya. Karna selama pandemic inilah, guru pun berperan sebagai pemberi ilmu kepada muridnya, walau sebenarnya terbatasi jarak dan waktu. Yang dimana guru biasa memberi penjelasan materi melalui powerpoint atau juga PDF atau terkadang akan mengajak diskusi anak muridnya melalui aplikasi-aplikasi daring, itulah yang mendorong beberapa pelajar akan terbiasa dengan smartphonenya. Terbiasa akan smartphone, bisa saja akan meningkatkan rasa malas untuk membaca buku, karena sudah menganggap di smartphone saja bisa diakses, kenapa harus membuka buku lagi.

Perintah membaca sudah ada di dalam Al-Qur’an, pada surah Al-Alaq yang telah ditafsirkan oleh Quraish Shihab sebagai aktivitas yang terdiri atas membaca, menyimak, memahami dan meneliti. Artinya, dimensi perintah membaca ini lebih luas dari sekadar membaca secara tekstual, tetapi bagian dari perintahny agar manusia menggali khazanah ilmu pengetahuan yang tersedia di alam semesta ini.

Mengimbangi literasi saat ini

Kemajuan teknologi yang ada pada saat ini, seharusnya menjadi penopang untuk ikut menyebarkan buku-buku ke seluruh pelosok yang ada di indonesia. Tapi kenyataannya, kemajuan teknologi membuat beberapa pelajar akan berkecenderungan.

Selain akses buku yang terbatas dan teknologi, membaca buku belum menjadi gaya hidup bagi semua orang apalagi generasi muda, ya para pelajar. Padahal membaca buku cetak itu jauh lebih baik daripada internet, karena untuk menumbuhkan sebuah nutrisi di otak kita berupa nutrisi kognitif, afektif dan sebagainya itu tersendiri. Dan biasanya kalau kita membaca buku cetak itu cenderung lebih reflektif daripada kita membaca dari internet. Adanya pola rasa ketika kita membaca buku.

Kita masih bisa saja menikmati internet, masih bisa menikmati membaca buku. Memang tidak ada salahnya kita menggunakan internet itu tadi, agar juga kita tidak gagap teknologi atau gaptek. Tapi perlu diingat juga, jangan sampai terlalu banyak menggunakan internet sampai lupa literasi pendahulunya.

Sebenarnya juga, yang harus ikut mengkampanyekan budaya membaca buku itu dari lingkungan di rumahnya, contohnya saja dari orang tuanya. Kita pun tidak bisa terlalu berharap lebih di sekolah. Toh, di sekolah lebih dominan diperkenalkan dengan buku pelajaran saja. Padahal kita memiliki banyak budaya, maka pelajar pun harus banget membaca buku. Karena nantinya akan lebih paham dengan budaya luar, bukan nge stuck disitu-situ saja bahasanya.

Sepengalaman saya, saya pernah ikut membantu dalam kegiatan suatu komunitas, Pesta Buku atau biasa di singkat PesBuk. Jadi pada saat itulah saya berkesempatan ikut membacakan sebuah buku dongeng yang berisi pelajaran juga, jadi anak tersebut pun bisa ikut mengeksplore dunia nyata dan juga dunia dongeng. Anak tersebut terlihat antusias sekali untuk mendengarkan isi buku tadi. Dan orang tuanya pun turut senang melihat anaknya serius mendengarkan cerita dongeng tersebut.

Mau apapun itu bentuk bukunya, tetap saja kita pun harus bisa membedakan bagaimana romantisme membaca buku, merasakan makna setiap kertas pada buku tersebut. Kita perlu membudayakan terlebih dahulu membaca buku cetak kebanding dari internet. Sama halnya seperti saat kita makan, nasi dan lauk kadang dimakan

bersamaan, kadang juga tidak. Mengapa? Karena kita pasti ingin merasakan hal yang berbeda.

Maka lebih tepatlah jika kita memulai membaca dari buku cetak terlebih dahulu, karena juga semakin majunya zaman. Beberapa hal akan terlewati, akan telingsir oleh waktu, dan sesuatu yang sudah berlalu akan menjadi sebuah kenangan dan terkadang kita pasti ingin bernostalgia.

Jadi, pelajaran yang bisa kita ambil pun, yaitu tetap jadikan buku sebagai jendela dunia, membaca walau sedikit demi sedikit, dan mendengarkan itu juga bisa. Karena bisa saja dari mendengar kita akan semakin penasaran dan akan bisa tertarik untuk membacanya sendiri.

Terakhir, ada satu kutipan dari penyair asal Rusia, Joseph Brodsky yang mungkin dapat jadi pengingat untuk kita semua. Dia mengatakan :

“Ada kejahatan yang lebih kejam daripada membakar buku. Salah satunya adalah tidak membacanya”

2 komentar

abuwais, Saturday, 21 Aug 2021

matafff

Reply

Indar Dewi, Saturday, 21 Aug 2021

Mungkin bisa anak” sekarang itu dijadwalkan untuk khusus membaca. Dan untuk memotivasi setiap bulannya diadakan lomba membaca🙏

Reply

TINGGALKAN KOMENTAR

Agenda

Maps Sekolah

Pengumuman

PEMBUKAAN PENERIMAAN SANTRI BARU MBS TARAKAN TA 2024/2025

CENDEKIAWAN MUSLIM VI

Pembukaan Penerimaan Santri Baru MBS Tarakan Tahun 2021/2022