
Imam Abu Hanifah pernah menjual beberapa bagian atap rumahnya yang terbuat dari pelepah pohon demi menuntut ilmu. Bukan karena rumahnya terlalu luas, tapi karena tekadnya jauh lebih besar daripada rasa nyamannya. Ia rela kehilangan tempat berteduh demi mendapatkan cahaya ilmu.
Sufyan Ats-Tsauri, seorang ahli hadits besar, pernah mengalami kelaparan selama tiga hari karena sibuk mencari ilmu. Baginya, perut yang kosong bukan halangan, melainkan penyaring kesungguhan. Sedangkan Imam Sibawih, sang pakar nahwu, berkelana ke kampung-kampung orang Arab Badui, hidup bersama mereka, hanya agar bisa memahami bahasa Arab fusha’ langsung dari sumbernya. Ia menyelami tradisi dan budaya mereka, demi menggali keaslian bahasa yang menjadi dasar keilmuan Islam.
Itu semua dilakukan tanpa akses internet, tanpa buku digital, tanpa kendaraan modern, tanpa Google Maps, apalagi ChatGPT. Yang mereka punya hanyalah kemauan yang membara, semangat yang menyala, dan keyakinan bahwa ilmu itu hanya akan diberikan kepada mereka yang bersungguh-sungguh.
Lalu bagaimana dengan kita hari ini?
Di era ketika ribuan kitab tersedia gratis dalam bentuk PDF, ketika pelajaran bisa diakses melalui video online, ketika ulama-ulama besar berbicara langsung melalui Zoom dan YouTube, saat kajian dan ceramah bisa didengarkan sambil rebahan—apakah semangat kita justru semakin menurun?
Kita hidup di zaman ketika hampir semua kemudahan sudah tersedia, tapi tantangan justru lebih besar. Gempuran teknologi tidak hanya memudahkan akses, tapi juga memudarkan fokus. Waktu yang seharusnya bisa digunakan untuk menuntut ilmu, justru terpecah oleh scroll tak berujung di media sosial, oleh notifikasi yang terus berdenting, dan oleh rasa malas yang semakin diberi ruang.
Maka, di sinilah kita diuji:
Bukan pada seberapa banyak alat yang kita miliki, tapi seberapa besar niat dan tekad kita menuntut ilmu.
Mari kita belajar dari para ulama. Jika mereka sanggup mengorbankan kenyamanan fisik untuk ilmu, maka kita pun seharusnya mampu mengorbankan kenyamanan digital demi cita-cita yang lebih tinggi. Ilmu tidak akan datang kepada orang yang hanya menunggu, tapi kepada mereka yang bergerak, mencari, dan bersabar.
Bukan zamannya yang menentukan keberhasilan menuntut ilmu, tapi hati dan tekad dalam menjalaninya.
Penulis : Idul Adha