Pagi cerah ku, datang tapi bagian dari ku yang kau anggap bulan belum tersadar, rasanya seperti ada yang berbisik untuk aku kembali dalam mimpi. “ Abang Didi bangun !!!” ucap umi di balik pintu, sadar tidaknya teringat di benak ini bahwa tiap hari ku di awali dengan kata “BANGUN”. Sesulit itu, apakah aku terbiasa atau aku merasa tidak berubah. Kebenaran sebenarnya bahwa aku sudah berusaha untuk tidak membuat orang tua mengeluh, untuk tidak membuat orang tua berteriak, untuk membuat aku menjadi lebih mandiri. Ada apa ya…. Sebenarnya?.
“Di, ayo !” panggilan yang kerap dilakukan dibalik pagar rumahku, kenapa semangatku membara yah. *Booommm* suara lompatan ku dari kasur yang menghipnotis sejak malam tadi. “Umi, izin keluar yah… dadah umi”. Menyusuri jalan tanpa tau arah tujuan, bergerak memutar seperti tidak beraturan, hingga tenaga kuda kami hilang berjatuhan. Nafasnya terpohok-pohok hingga akhirnya benar mati tak bertenaga, mendoronglah kami seperti biasa.
“Berakhlaktul karimah, Berilmu Amaliah, Beramal Ilmiah” hati umi sedang berbicara, tanpa dirasa aungan ini selalu disebut olehnya dalam lamunan cinta. Akhirnya umi berbicara “Abang, umi masukkan pondok yah nak?” terkejut aku dibuatnya. Pada momen itu aku tidak berusaha mencela, aku berbalik tanpa kata dan masuk ke bilik ternyamanku. Aku mencari informasi, tentang aungan yang selalu dilantunkan umi. Ibarat mencari jodoh aku menggalihnya dengan jeli, berusaha untuk hasil yang pasti, kudapati.
Selang dua hari, umi kembali mencari jawaban akan permintaan. Ku jawab dengan akal sehat untuk memuaskan hasrat “Umi, ingsyaallah aku mau, tapi janji ya umi jangan sedih karena aku tidak disamping umi untuk beberapa hari, bulan, dan mungkin tahun” *sembari memegang pundak umi*. “Allhamdulillah” kata umi *menyatukan tangan dan mengucap syukur*. “Besok kita jalan-jalan ya, ingsyaallah kamu suka” sambung umi. Aku tersenyum menyakinkan diri terhadap keputusan yang ku ambil.
Dengan gagah aku bersiap, tidak ku lewatkan sedikit pun jiwa semangat yang membakar ku. Gugup dan debaran ini membuat aku semakin percaya bahwa keputusan ku benar terarah. Berkeliling bersama umi membuat aku bahagia, sejenak teringat bahwa ayahanda telah tiada, tidak apa-apa. Sampai ditujuan aku melihat keakraban yang terjalin antar santri, hanya dari jauh dibalik jendela mobil umi. Umi masuk untuk mendaftarkan putra satu-satunya ini. Angka 1 menjadi sangat istimewa bagiku karena tes masuk pondok dimulai.
Inilah hari ini, akan menjadi sejarah bagiku karena untuk pertama kalinya aku meninggalkan umi seorang diri. Umi adalah wanita hebat pekerja keras seorang pembisnis yang beradab, walau sendiri tetap dijalani. Pulang pergi mencari inspirasi. Aku juga akan berusaha membantu umi tanpa pamrih, disini…. Melalui pondok ini…
Aku mulai, lolos tahapan satu demi satu, tak hentinya berdebar jantungku. Tapi aku berhasil hingga akhir, nama ku Didi saat ini aku santri di pondok yang memegang teguh aungan “Berakhlaktul karimah, Berilmu Amaliah, Beramal Ilmiah” . Jadwal keseharian pondok dibagikan, jadwal kewajiban dibagikan, jadwal pelajaran dibagikan, jadwal piket dibagikan, bahkan jadwal menu makanan harian juga dibagikan, aku seperti di dampingi umi rasanya biasa bagiku tidak ada yang berbeda hanya tempat yang tidak sama.
Ku mulai pagi untuk pertama kalinya dengan menyambut fajar, beribadah sesuai syariat yang baik dan benar, berdampingan dengan rekanku menyetor hafalan, memulai aktifitas dengan sarapan, apel, belajar, berkegiatan dan mengembangkan bakatku dibidang kesenian. Setelah ba’da isya aku lanjut setoran. Setoran hafalan Al-Qur’an, indah bukan. Tidak sulit bagiku karena bersama rekan baru bersama-sama mengemban ilmu dan memiliki tujuan hidup yang padu. Umi, aku disini sedang memulai pelan-pelan umi semangat disana, aku juga sangat bersemangat disini. Salam ku untuk umi. Ayo bersama ku memulai, karena tanpa memulai maka tidak akan ada hasil yang pasti.
Enggar.