Pada suatu masa yang penuh gejolak, setelah berakhirnya perang di Basrah, Ali mengarahkan pasukannya menuju Kufah. Di sana, ia mengutus seorang utusan setia, Jarir ibnu Abdullah al-Bajali, untuk membawa pesan perdamaian kepada Muawiyah. Ali berharap, di bawah langit yang sama, Muawiyah akan mengangkat baiat kepadanya dan mengakhiri perpecahan.
Namun, di tanah Syam, Muawiyah menyambut utusan itu dengan senyum yang penuh tipu muslihat. Jarir ditahan dalam waktu yang lama, ditenggelamkan dalam pekerjaan-pekerjaan yang tak berujung. Muawiyah, dengan cerdik dan hati-hati, mendengarkan nasihat dari Amr ibnu al-Ash. Penasihat setianya itu berbisik bahwa darah Utsman harus dibalas sebelum ada pembaiatan. Jika tidak, yang akan terjadi adalah perang yang menggetarkan bumi.
Riwayat Thabari menyebutkan bahwa penduduk Syam telah bersumpah tidak akan menyentuh air untuk mandi, tidak akan tidur di kasur, tidak akan mendekati istri mereka, sebelum darah Utsman dibalas. Janji mereka seperti api yang membara, tak akan padam sebelum dendam terbalas. Kemeja berdarah Utsman menjadi simbol kebencian, seperti pembunuhan di Sarajevo yang memicu perang besar.
Ketika kabar dari Syam sampai ke telinga Ali, hatinya bergetar. Peperangan tak lagi bisa dihindari. Dengan semangat yang berkobar, Ali mempersiapkan pasukannya dan bergerak menuju Nakhilah. Di sana, di bawah langit yang sama, Muawiyah juga telah keluar dengan pasukannya, siap menghadapi nasib yang tak terelakkan.
Perjalanan Ali membawa mereka ke Riqqah, di mana mereka menyeberangi Sungai Furrat. Di seberang sungai itu, pasukan Muawiyah telah berkemah, menunggu dengan sabar. Pertempuran kecil pun pecah di tepi sungai. Tempat yang bernama Shiffin menjadi saksi bisu dari pertempuran yang segera meletus.
Awalnya, pasukan Muawiyah hampir mati kehausan, kekurangan air di tengah panas yang membakar. Mendengar hal ini, Ali, dengan hati yang penuh belas kasih, memberi kesempatan pada musuhnya untuk berpindah ke tempat yang lebih dekat dengan sumber air. Namun, setelah pesan-pesan damai dikirimkan dan ditolak, perang pun dimulai.
Ali, dengan keberanian yang tak tergoyahkan, mengajak Muawiyah berduel satu lawan satu. Namun, Muawiyah menolak tantangan itu. Hanya Amr yang maju, namun nyaris tewas oleh pedang Ali yang tajam. Pedang Ali telah menyentuh pinggang Amr, hampir menembus perutnya. Namun, karena kesopanan, Ali tidak menghabisinya dan memberi Amr kesempatan untuk menyelamatkan dirinya.
Ketika pertempuran besar dimulai, pasukan Muawiyah awalnya unggul, namun mereka akhirnya mundur oleh serangan keras dari pasukan Ali. Beberapa prajurit Ali bahkan sampai di depan kemah Muawiyah. Dalam kepanikan, prajurit Muawiyah, atas perintah Amr, mengangkat Al-Qur’an di ujung tombak mereka, memohon agar perang dihentikan.
Melihat Al-Qur’an diangkat, tangan para prajurit Ali melemah. Mereka ragu, apakah harus melanjutkan serangan. Ali tahu ini adalah tipu muslihat, namun pasukannya tidak setuju untuk terus berperang. Dengan hati yang berat, Ali terpaksa menghentikan perang.
Kemudian, Ali mengutus Ary’ats ibnu Qais untuk bertanya kepada Muawiyah tentang maksud mengangkat Al-Qur’an. Muawiyah menjawab bahwa mereka ingin menyelesaikan masalah ini menurut hukum Kitabullah. Mereka sepakat untuk mengutus perwakilan dari kedua belah pihak. Orang Syam memilih Amr ibnu al-Ash, sementara orang Irak memilih Abu Musa al-Asy’ari.
Ketika kedua utusan bertemu di Doumatul Jandal, mereka sepakat untuk menjatuhkan Ali dan Muawiyah dari jabatan mereka dan mengusulkan Abdullah ibnu Umar sebagai pengganti. Namun, setelah Abu Musa berbicara, Amr dengan licik menetapkan Muawiyah sebagai khalifah. Abu Musa merasa ditipu dan marah, namun semuanya sudah terlambat.
Muawiyah Seusai Perang Shiffin
Setelah kemenangan liciknya di Shiffin, Muawiyah mengarahkan pandangannya ke Mesir, tanah yang kaya raya. Dengan bantuan Amr, ia menaklukkan Mesir, dan seluruh Syam mengakui Muawiyah sebagai khalifah. Orang-orang yang sakit hati karena pembunuhan Utsman bergabung dengan Muawiyah, menambah kekuatannya.
Muawiyah menyusun pasukannya untuk menaklukkan wilayah-wilayah lain, membawa kemakmuran dan kekuasaan ke tangannya. Dengan kecerdikan dan siasatnya, ia menjadi penguasa yang tak tergoyahkan.
Rahasia Kemenangan Muawiyah
Ali menjadi khalifah di tengah kekacauan, sementara Muawiyah di Syam adalah ahli politik yang licin dan penuh siasat. Muawiyah memanfaatkan kekacauan ini untuk menarik dukungan, menggunakan segala cara untuk memenangkan hatinya.
Muawiyah tak segan mengeluarkan uang untuk mendapatkan dukungan, sementara Ali yang keras dan hemat membuatnya kehilangan banyak pendukung. Muawiyah juga pandai menahan hati dan memaafkan, membuatnya disukai banyak orang.
Ali merasa dirinya lebih berhak dan lebih tahu dalam segala hal, kurang menghargai pendapat orang lain dan jarang bermusyawarah. Pengikut Ali sering membantah dan tidak mau mengikuti perintahnya, membuat Ali terpaksa mengikuti kehendak mereka.
Muawiyah menggunakan segala cara, termasuk uang dan hadiah, untuk mendapatkan dukungan. Banyak teman Ali yang lari ke Muawiyah karena hal ini. Pemerintahan Ali sangat idealis, sementara pemerintahan Muawiyah penuh dengan tipu daya dan politik licik.
Dengan kecerdikannya, Muawiyah mampu menurunkan jabatan khalifah kepada anak-anak dan keturunannya. Kemenangan Ali hanya ada dalam riwayat, sementara kemenangan Muawiyah terlihat nyata dalam hidupnya.