109 tahun berdiri, bukanlah waktu singkat bagi sebuah Organisasi. Muhammadiyah yang awal berdirinya menjadi gerakan yang dicurigai, hingga sang pendiri harus rela langgar tempatnya mengajar dirobohkan oleh mereka yang tidak setuju dengannya. Muhammadiyah di masa lalu adalah gerakan ke modernan menebarkan rahmat melalui pendidikan dan dakwah sosial. Menghadirkan islam manusia kata Haidar Baqir dalam salah satu tulisannya, Islam yang hadir dalam kehidupan manusia.
Muhammadiyah adalah pencetus, pendobrak dan pengagas hal-hal yang dinikmati manusia Indonesia saat ini, pendidikan modern, sarana sosial menjadi pokok pikiran dari Muhammadiyah di masa lalu. Bagaimana dengan Muhammadiyah hari ini? Apakah gaungnya tetap sama seperti di masa lalu, ataukah mulai melemah dimakan zaman?. Disaat banyak organisasi pergerakan sezaman dengan Muhammadiyah mulai mengibarkan bendera putih tanda menyerah, Muhammadiyah masih berdiri dengan kokohnya. Muhammadiyah tetap memberikan kebaikan kepada sesama, menebar benih-benih Rahmat Islam Washatiyah.
Akhir tahun 2019 virus asal Wuhan China, muncul seketika. Ribuan manusia tak berdaya akibat virus tersebut. Maret 2020, 2 orang depok terpapar virus ini, di kemudian hari disebut virus covid 19 atau virus corona. Peningkatan korban akibat virus ini terus meningkat hingga WHO menyebutnya dengan Pandemi. Negara-negara Eropa lumpuh, Asia hingga Australia mengalami kepanikan luar biasa. Sepanjang tahun 2020, angka kematian menjadi suatu tontonan yang lazim. Demi mencegah penyebaran virus dan mobilisasi masyarakat tempat ibadah ditutup, mudik dilarang dan pegawai-pegawai kantoran dirumahkan serta sekolah diubah menjadi sekolah vitual, semuanya serba dibatasi. Muhammadiyah merespon dengan cepat, MDMC membentuk MCCC dengan dr. Corona Rintawan menjadi ketuanya. Rumah-rumah sakit Muhammadiyah di siagakan, Lazismu membantu dengan layanan donasinya. Muhammadiyah bergerak membantu negara dalam menghadapi penyebaran Virus Covid 19.
Begitulah Muhammadiyah, DNA pergerakannya adalah sedikit bicara banyak bekerja. Seluruh kader Muhammadiyah bergerak membantu, 60.000 ribu relawan digerakkan, berjuta-juta hingga miliaran donasi disalurkan kepada mereka yang membutuhkan. Dalam sambutan Milad Muhammadiyah 109, Ketua umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah menjelaskan Islam tidak memerintahkan umatnya untuk berputus asa, menyerah dengan keadaan, dan berlarut dalam kesedihan. Optimis dan bahu-membahu adalah kunci memperbaiki kondisi pandemi yang entah kapan akan berakhir. Tidak sendiri, tapi bersama kita satukan hati, pikiran, dan semangat untuk kehidupan yang lebih baik. Kita mampu melewati pandemi jika kita mampu bersatu, bukan egoisme kelompok.
Prof. Dr. Haedar Nashir, menjelaskan bahwa nilai utama yang harus hadir dalam menghadapi Pandemi ada beberapa hal. Tauhid untuk kemanusian, Nilai Persaudaraan dan Kebersamaan, Nilai Kasih Sayang, Nilai Tengahan, Nilai Kesungguhan Berikhtiar, Nilai Keilmuan, Nilai Kemajuan
Tauhid untuk Kemanusian. Tauhid merupakan asas paling mendasar dalam Islam. Tauhid tidak hanya dalam aspek iman secara personal kepada Tuhan. Namun, lebih dari itu Tauhid selain masalah iman juga memiliki aspek sosial. Sehingga ber Tauhidnya seorang muslim harus terimplementasikan terhadap kehidupan sosial.
Muhammadiyah memandang hubungan manusia dengan Allah dan hubungan manusia dengan manusia harus terkoneksi Di dalam Muqaddimah Anggaran Dasar Muhammadiyah pada Pokok Pikiran pertama terkandung pernyataan, “Hidup Manusia harus berdasar Tauhid (meng-esa-kan Allah): ber-Tuhan, beribadah, serta tunduk dan taat hanya kepada Allah.” Sedangkan pada Pokok Pikiran kedua disebutkan, “Hidup manusia itu bermasyarakat”, serta pada Pokok Pikiran keempat dinyatakan: “Berjuang menegakkan dan menjunjung tinggi agama Islam untuk mewujudkan masyarakat Islam yang sebenar-benarnya adalah wajib sebagai ibadat kepada Allah SWT dan berbuat ihsan kepada sesama manusia.”
Musibah pandemi Covid 19, dapat diambil hikmahnya, sehingga sikap ketauhidan yang muncul adalah sikap kepedulian terhadap sesama. Padangan tentang takut kepada Allah, dan jangan takut terhadap virus adalah pandangan yang bias dalam memahami Tauhid.
Asghar Ali Engineer sebagaimana Ahmad Amin menempatkan tauhid sebagai sumber nilai pembebasan kaum lemah dan tertindas dalam perspektif “The Theology of Liberation” (Teologi Pembebasan). Ali Syari’ati secara luas dan mendalam memandang keyakinan tauhid sebagai sumber nilai utama bagi manusia dan alam semesta dalam satu kesatuan (unity). Kehidupan berbasis tauhid adalah realitas yang integral, holistik, monistik, dan universal. Tauhid itu multidimensi, baik vertikal dalam hubungan dengan Allah maupun horizontal dalam relasi kemanusiaan dan alam semesta. Itulah kredo tauhid yang melahirkan ihsan kepada kemanusiaan dan rahmat bagi semesta alam.
Nilai Persaudaraan dan Kebersamaan. Pandemi Covid memberikan pembelajaran pentingnya untuk memuliakan manusia atau jiwa dan fisik manusia agar dihargai dan diselamatkan, sebaliknya jangan disampai diabaikan, disia-siakan dan direndahkan. Berusaha maksimal mengatasi virus corona dan melakukan vaksinasi sama dengan ikhtiar memelihara dan memuliakan manusia sebagai makhluk Allah yang terbaik (fī aḥsan altaqwīm) dan harus dihargai dan dijunjungtinggi eksistensinya.
Di dalam Pernyataan Pikiran Muhammadiyah Abad Kedua tentang “Pandangan
Keagamaan” (Islam Berkemajuan) ditegaskan bahwa “Islam yang berkemajuan menyemaikan benih-benih kebenaran, kebaikan, kedamaian, keadilan, kemaslahatan, kemakmuran, dan keutamaan hidup secara dinamis bagi seluruh umat manusia. Islam yang menjunjungtinggi kemuliaan manusia baik laki-laki maupun perempuan tanpa diksriminasi. Islam yang menggelorakan misi antiperang, antiterorisme, antikekerasan, antipenindasan, antiketerbelakangan, dan anti terhadap segala bentuk pengrusakan di muka bumi seperti korupsi, penyalahgunaan kekuasaan, kejahatan kemanusiaan, eksploitasi alam, serta berbagai kemungkaran yang menghancurkan kehidupan.
Nilai Kasih Sayang. Ajaran kasih sayang dalam Islam sangat penting dan luas yang lahir dari nilai ihsan, ukhuwah, silaturahmi, dan ta‘āwun dalam wujud kepeduliaan, empati, simpati, kerjasama, dan kebersamaan atas nasib sesama. Jika tidak mau membantu sesama jangan bertindak semaunya. Jika tidak dapat memberi solusi atas masalah yang dihadapi, jangan menjadi bagian dari masalah dan mengabaikan masalah. Nilai kasih sayang antar manusia terhubung dengan kasih sayang Tuhan, sebagaimana hadis Nabi yang artinya: “Orang-orang yang penyayang itu akan dikasihi oleh Yang Maha Penyayang dan Yang Mahasuci lagi Mahatinggi, maka sayangilah makhluk yang ada di bumi niscaya kalian akan disayangi oleh makhluk yang ada di langit” (H.R. ‘Abdullāh bin ‘Amr r.a.). Mari letakkan musibah global ini dalam pandangan kemanusiaan yang humanistik. Menurut Steven Pinker (2018) dalam “Enlightment Now”, manusia di era Pencerahan dunia modern mesti mengembangkan “a humanistic sensibility”, yang menumbuhkan sentimen empati seperti kemurahan hati, belas kasih, dan rasa saling memahami satu sama lain. Sifat-sifat empati tersebut menghidupkan watak alami manusia sebagai makhluk yang “merasa” (sentient) seperti senang dan sedih, suka dan duka, bahagia dan derita. Sifat-sifat manusiawi yang alamiah itu boleh jadi sering terdelusi oleh pola pikir
sekular yang rasional-instrumental maupun pandangan keagamaan yang dangkal. Islam mengajarkan nilai “tarāḥum” atau welas asih dengan sesama secara praksis. Al-Mā‘ūn mengandung praksis kemanusiaan pro-duafa yang berwatak welas asih itu. Menurut Dokter Soetomo, tokoh Boedi Oetomo yang juga perintis Klinik PKU Muhammadiyah Surabaya tahun 1924, nilai welas asih (kasih sayang) dari ajaran al-Mā‘ūn berbeda dengan pandangan tentang perjuangan manusia dalam seleksi alam ala Charles Darwin (The Orogin Of Species), bahwa hanya organisme unggul yang akan mampu bertahan dalam perjuangan hidup. Narasi itu sejalan dengan hukum siapa yang kuat maka dia yang menang dalam teori “survival of the fittest” dari sosiolog Herbert Spencer. Sebaliknya, ajaran welas asih dari Al-Mā‘ūn justru mendasarkan perjuangan hidup secara bersama sehingga yang kuat mau berbagi dengan yang lemah, bukan sebaliknya mengorbankan yang lemah. Mereka yang lemah pun tetap berbuat baik terhadap sesama. Penderitaan akibat pandemi ini mestinya diletakkan dalam kemanusiaan yang humanistik dan profetik tentang pentingnya hidup “peduli dan berbagi” dalam bingkai nilai kasih sayang yang diajarkan Islam. Kyai Dahlan dengan cerdas dan orisinil mampu menerjemahkan ajaran welas asih dari Al-Mā‘ūn ke dalam pranata modern berupa wujud rumah sakit (hospital, ziekenhuis), rumah miskin (armeinhuis), dan rumah yatim (weeshuis). Kini Muhammadiyah dalam menghadapi pandemi Covid-19 dengan segala dampaknya terus berikhtiar tiada henti sebagai bukti konsistensi mewujudkan Islam sebagai ajaran kasih sayang bagi kemanusiaan dan kehidupan semesta. Karenanya dengan pandemi ini penting semua orang di manapun berada mau belajar rendah hati, ternyata dengan virus kecil ini dunia kehidupan menjadi porakporanda. Menurut Albert Camus, akibat wabah manusia dilanda “absurditas”, hidup sarat kegalauan dan ketidakpastian. Filosof Perancis kelahiran Al-Jazair itu mengupas kisah wabah pes di kota Oran Al-Jazair tahun 1930an, melalui karya novelnya yang terkenal “La Peste”. Bagi Camus, ketika terjadi wabah, manusia jangan menjadi unta dengan mengiyakan semuanya begitu saja yang terjadi. Tapi, jangan pula menjadi singa yang memberontak, melawan, dan ingin heroik. Jadilah bayi, terima segala yang terjadi, cintai apa yang terjadi. Filsuf beraliran eksistensialis itu menawarkan manusia agar “bertindak membela yang dikenai kemalangan”.
Muhammadiyah dalam memperingati Milad ke-109 niscaya bergerak makin dinamis dalam membangkitkan para anggota dan seluruh institusinya agar mampu melakukan langkah-langkah perubahan yang mendorong usaha-usaha strategis dan melahirkan pusat-pusat keunggulan serta perluasan jelajah perjuangan Persyarikatan menuju Muhammadiyah berkemajuan di berbagai bidang dan ranah kehidupan. Jadikan momentum terbaik ini sebagai pintu mengembangkan dakwah, tajdid, dan ijtihad kolektif guna mendorong semangat al-tagyīr (perubahan), al-tanwīr (pencerahan), dan altaqaddum (kemajuan) untuk membangun Muhammadiyah yang unggul berkemajuan di ranah lokal, nasional, dan global. Jika Muhammadiyah dalam kurun terakhir begitu bergelora mengusung tema “Islam Berkemajuan” dan “Indonesia Berkemajuan”, maka modal utamanya harus lahir dari rahim Muhammadiyah yang berkemajuan, yakni Muhammadiyah yang unggul di segala bidang kehidupan. Pepatah Arab menyatakan, fāqid al-syai’ la-yu’ṭi, bahwa orang yang tak mempunyai apa-apa tidak mungkin dapat memberi apa-apa. Sungguh menjadi suatu keniscayaan jika Islam dan Indonesia berkemajuan lahir dan tercipta dari Muhammadiyah berkemajuan.
Para pimpinan Muhammadiyah dari seluruh lapisan niscaya gigih memajukan umat dan bangsa melalui amal usaha dan kerja-kerja unggulan seraya terus belajar, memperkaya, mengembangkan, serta mempromosikan pemikiran-pemikiran maju. Menanggapi atau berdialog dengan pemikiran yang berbeda dari berbagai kalangan mesti dilakukan dengan pemikiran dan ilmu yang mendalam dan berhorizon luas, bukan dengan pikiran-pikiran dangkal dan apologia. Para pimpinan Muhamamdiyah di seluruh tingkatan dapat menjadi suluh kemajuan dengan jiwa ilmu dan hikmah disertai “uswah ḥasanah.” Para kader Muhammadiyah dengan integritas iman, kepribadian, dan nilai-nilai utama yang diajarkan Islam dan tradisi Kemuhammadiyahan yang berkemajuan niscaya mampu berdiaspora di berbagai lapangan dan ramah kehidupan. Tampillah dinamis dan berintegritas guna mewujudkan misi dakwah dan tajdid Muhammadiyah yang melintasi tanpa ragu, gagap, dan canggung disertai pertanggungajwaban yang bermartabat tinggi. Berdiasporalah ke seluruh lingkungan dan penjuru bumi Tuhan untuk berkiprah yang berkemajuan dengan jiwa, alam pikiran, dan keteladanan “Sang Pencerah”.
Melalui momentum Milad ke-109 tahun ini marilah seluruh anggota, kader, dan pimpinan Muhammadiyah di semua tingkatan dan lingkungan kelembagaan sampai jamaah untuk memantapkan diri agar tetap ikhlas dalam ber-Muhammadiyah, berkomitmen tinggi, berkhidmat, bekerjasama dan menjalin kebersamaan, bekerja secara sistemik dan terorganisasi, menjadikan Persayarikatan unggul berkemajuan, serta memperluas gerak Muhammadiyah dalam memajukan umat, bangsa, dan kemanusiaan semesta. Para pimpinan Persyarikatan dengan seluruh ortom, majelis, lembaga, PWM sampai Ranting serta amal usaha dan institusi lainnya harus terus gigih bekerja secara sungguh-sungguh dalam memajukan Muhammadiyah agar menjadi gerakan Islam yang makin besar, unggul, maju, dan jaya.
Agp.