Pendahuluan
Gagasan gerakan Muhammadiyah yang diperkenalkan oleh KH. Ahmad Dahlan didukung banyak pihak termasuk Haji Lurah Keraton Yogyakarta yaitu Haji Hasyim. Begitu mendukungnya Haji Hasyim terhadap gagasan-gagasan gerakan KH. Ahmad Dahlan beliau menyerahkan sepenuhnya pendidikan putra-putrinya kepada KH. Ahmad Dahlan. Putra-putri yang dimaksud adalah Siti Djazimah, Muhammad Syujak, Haji Fachruddin, Ki Bagus Hadikusumo, Haji Zaini, Siti Munjiyah, Siti Bariyah dan Siti Walidah (Berbeda dengan Nyai Walidah Istri KH. Ahmad Dahlan). (Hajriyanto Tohari)
Tulisan kali ini kita akan membahas tentang salah satu anak dari Haji Hasyim,yakni Haji Fachruddin. Haji Fachruddin kecil bernama Muhammad Jazuli, lahir pada tahun 1890 (H.M.J. Anies, 1930: 5). Adik kandung Daniel (Kiai Syujak) ini tergolong anak yang memiliki watak tegas. Dia memiliki kemauan kuat dan berjiwa mandiri. Perawakan Djazoeli memang tak sebesar dan setinggi Daniel. Badannya tampak tegap. Kulitnya hitam manis dan hidungnya mancung. Tatapan matanya begitu tajam. Di lihat dari kontur bibirnya menggambarkan karakter seorang anak yang tak kenal rasa takut (Djarnawi Hadikusumo, 1977).
Sebagai seorang anak dari abdi dalem keraton, Haji Fachruddin atau Djazoeli cenderung tidak menyukai tradisi feodalisme. Beliau tergolong anak yang memberontak terhadap tradisi. Terhadap kedudukan dan karakter ayahnya sebagai abdi dalem, Jazuli merasa tidak cocok. Walaupun demikian, dia tidak pernah melawan ayahnya. Jazuli tetap memberikan penghormatan yang layak kepada orang tua yang telah membesarkannya.
Masyarakat Kauman adalah dikenal sebagai masyarakat
religious. Memasuki usia pendidikan anak-anak kauman akan menempuh pendidikan
di Pesantren. Begitupula Haji Fachruddin
muda, dia di menempuh pendidikan di pesantren Wonokromo (Surabaya). Beliau juga
pernah nyantri Imogiri dan Bantul. Tetapi, karena memiliki sifat yang bebas
maka Djazoeli tidak pernah betah di pesantren.
(Tamar Djaja, Muarif Alif.Id)
Dasar karakter Jazuli yang tidak suka formalitas, dia lebih menghendaki hidup bebas dan kerja keras. Jazuli sering mangkir dari kewajiban mengaji. Dalam istilah zaman sekarang, sosok Jazuli lebih tepat dijuluki sebagai ”santri mbeling.” Karena sering tak mengikuti pengajian, ilmu yang diperolehnya selama mengaji di pesantren terasa tanggung.
Jalan takdir Tuhan Djazoeli yang keluar dari pesantren menuntun Djazoeli ke Takdir Tuhan yang lain. Minat belajarnya tidak pernah padam. Dan satu-satunya jalan bagi Djazoeli dalam mencari ilmu adalah belajar secara otodidak. (Sasjardi, Muarif. Alif.Id)
Sebagai seorang otodidak, Jazuli merasa lebih leluasa belajar ilmu agama. Dia bisa belajar lewat kitab-kitab klasik yang dibacanya secara mandiri. Sekalipun dia tidak pernah merampungkan pendidikan di pesantren, tetapi penguasaannya terhadap kitab-kitab klasik tidak kalah dibanding dengan para lulusan pesantren.
Pada awal abad 20, industri batik di Kauman sedang tumbuh pesat. Sejak tahun 1900-1930, masyarakat Kauman mengalami kesetaraan di bidang ekonomi. Sumber penghasilan mereka, selain sebagai pejabat abdi dalem, adalah dari industri kerajinan batik yang sedang tumbuh pesat. Tidak jarang para pejabat kraton merambah dunia perdagangan batik. Salah satu abdi dalem yang pernah menekuni bisnis kain batik adalah K.H. Ahmad Dahlan. Konon, jaringan pemasarannya sampai ke Medan, Surabaya, Semarang, Jakarta, dan kota-kota besar lainnya.
Jazuli tumbuh besar dalam kondisi perekonomian di Kauman yang sedang meningkat. Sebagai salah seorang putra abdi dalem, dirinya tidak ketinggalan terjun di bisnis kain batik. Pada saat yang bersamaan, di Laweyan (Solo), industri batik juga sedang tumbuh pesat. Menurut sumber Junus Anis (1930: 19), Jazuli dikenal sebagai sosok yang suka bekerja keras.
Dia tidak hanya berdagang batik, tetapi juga merintis percetakan sendiri, mengelola hotel, dan mendirikan pabrik rokok. Di antara bisnis yang paling banyak mendatangkan keuntungan adalah bisnis mengelola hotel. Hotel milik Djazoeli bernama Hotel Islam beralamatkan di Ngabean Straat Telf. No. 734. Dia sendiri yang menjadi direkturnya.
Pada tahun 1905, Djazoeli adalah pedagang batik sukses yang jaringannya merambah ke luar Yogyakarta. Dia dikenal sebagai tokoh yang pertama kali menganjurkan media massa sebagai sarana mempromosikan produk-produk batik di kampung Kauman. Pada tahun ini pula Djazoeli melakukan perjalanan Haji. Dan mengganti namanya menjadi Haji. Fachruddin
Menjadi Seorang Wartawan
Salah satu Santri KH. Ahmad Dahlan yang memiliki kemampuan mengarang adalah H. Fachruddin. KH. Ahmad Dahlan juga menganjurkan santri-santrinya untuk terlibat dalam pergerakan nasional yang marak sejak awal abad ke 20 masehi.
Fachruddin mengawali karir politik dan dunia pergerakan bergabung dengan Syarikat Islam (SI) yang sebelumnya bernama Syarikat Dagang Islam (SDI). Beliau banyak belajar jurnalistik kepada Mas Marco Kartodikromo, salah seorang paman dari S.M Kartosoewiryo, pegagas gerakan DII/TII.
Pada 1914 Masehi Mas Marco dan beberapa jurnalis lainnya menerbitkan surat kabar dunia bergerak. Ditahun yang sama, diusia sekitar 24 tahun Mar Marco mendirikan Inlandsche Journalisten Bond (IJB). Terhitung sejak surat kabar Doenia Begerak, Haji Fachruddin dipercaya menjadi penullis tetap yang bertanggung jawab memberikan informasi di seputar kawasan Yogyakarta. Dalam usia kurang lebih sama dengan Mas Marco, Haji Fachruddin juga sudah menjadi anggota IJB. (Muarif, Alif.Id)
Menurut sumber Junus Anis (1969: 15) yang dikutip oleh Muarif dalam Alif. id, sejak kecil Fachrodin bercita-cita ingin bisa mengarang tulisan dan menerbitkannya di surat kabar. Dalam pikiran Jazuli (Fachrodin), betapa sulitnya mengarang tulisan yang bagus.
Sewaktu Mas Marco menerbitkan surat kabar Doenia Bergerak (1914), ia diminta untuk mengarang artikel atau menulis laporan perkembangan politik di wilayah Yogyakarta. Sebelum terjadi kesepakatan untuk menjadi koresponden tetap di Doenia Bergerak, Fachrodin meminta agar Mas Marco bersedia memeriksa, mengedit, dan memperbaiki karangannya.
Fachruddin adalah seorang otodidak, maka tanpa mengenyam pendidikan di institusi pendidikan formal bakat mengarang dari Fachruddin berkembang secara alami. Fachruddin banyak menulis artikel atau berita dan untuk memenuhi standar tulisan jurnalistik pada waktu itu.
Ciri khas Fachruddin dalam mengarang tulisan menggunakan bahasa sederhana. Istilah pada waktu itu, Fachruddin adalah menggunakan bahasa ”Melayu rendah” (M.J. Anies, 1930: 7). Istilah ini untuk menyebut bahasa awam yang dipakai khalayak ramai. Ciri-ciri bahasa ”Melayu rendah” adalah campuran antara bahasa ”Melayu tinggi” (cikal bakal bahasa Indonesia) dan bahasa Jawa.
Setiap kali Fachrodin mengarang artikel atau menulis laporan, dia selalu membuat rangkap dua. Satu karangan akan diserahkan kepada Mas Marco dan satunya lagi disimpan sebagai arsip pribadi. Sewaktu karangannya dimuat di surat kabar Doenia Bergerak, dia dapat mencocokkan dengan arsipnya. Dia pelajari kekurangan dan kesalahan dalam karangannya yang telah diedit oleh Mas Marco itu. Sebab, artikel yang telah dimuat di surat kabar Doenia Bergerak merupakan hasil editan Mas Marco. Dengan cara demikian, Fachrodin menjadi kontributor tulisan Doenia Bergerak dan dia belajar mengasah keahlian di bidang jurnalistik. Inilah proses Haji Fachrodin belajar jurnalistik kepada Mas Marco.
Kemampuan di bidang tulis-menulis yang dimiliki Fachrodin terus dikembangkan dengan melibatkan diri dalam beberapa penerbitan surat kabar. Dia merintis penerbitan surat kabar Soewara Moehammadijah pertama kali pada tahun 1915.
Selaku Hoofdredacteur Soewara Moehammadijah pertama adalah Haji Fachrodin, sementara K.H. Ahmad Dahlan duduk di jajaran redaksi bersama HM. Hisyam, RH. Djalil, M. Siradj, Soemodirdjo, Djojosugito, dan KRH. Hadjid (lihat Soewara Moehammadijah no 2 th ke-1/1915). Penerbitan surat kabar ini sempat terhenti ketika Fachrodin bergabung bersama Haji Misbach di Solo menerbitkan surat kabar Medan-Moeslimin (1915) dan Islam Bergerak (1917).
Pada tahun 1919, Fachruddin menerbitkan surat kabar mingguan Srie Diponegoro. Sewaktu Haji Misbach mulai terlibat dalam kasus penghasutan para petani tebu di Klaten (1920), Fachrodin menggantikan kedudukannya sebagai pemimpin redaksi Medan-Moeslimin dan Islam Bergerak. Pada waktu Fachrodin pergi ke Solo melewati Klaten dalam rangka mengerjakan penerbitan Medan-Moeslimin dan Islam Bergerak, dia mendapati pemandangan miris kehidupan petani tebu di Klaten.
Dari pengalamannya melihat kehidupan petani tebu di Klaten Fachruddin menulis artikel di halaman depan surat kabar Srie Diponogoro yang terbit di Yogyakarta. Beliau menuliskan betapa mirisnya kehidupan petani tebu, dan dilengkapi dengan ilustrasi. Tulisannya banyak mempengaruhi pembaca surat kabar Srie Diponogoro. Menurut sumber Yunus Anis (1969: 18), artikel Fachrodin dihiasi dengan gambar ilustrasi seorang lelaki Jawa memakai ikat kepala (blangkon) tanpa mengenakan baju sedang menggenggam keris dan akan menikam seekor harimau.
Ternyata, pemuatan artikel ini berbuntut panjang dan berujung pada kasus pers-delicht (delik pers). Residen Yogyakarta memperkarakan artikel yang ditulis oleh Fachrodin sebagai kasus penghasutan terhadap rakyat. Dalam kasus ini, Fachrodin mendapat tuntutan hukuman penjara selama tiga bulan atau membayar denda sebesar f. 300,-. (Muarif, Alif.Id)
Dalam tulisan Muarif, Yunus Anies (1930: 47), salah seorang murid Haji Fachrodin, melukiskan kesannya terhadap tokoh yang satu ini. “Penna didjalankan selaloe berhenti, apabila diboeroekan kerap patah dan dawat ditoewang tidak mentjoeroeh, lama baharoe dapat menghitamkan warakat jang poetih. Demikianlah karena pemegang qalam dan pengoeroes soerat-soerat chabar itoe ada mengandoeng perkara jang haibat dalam dadanja…”
Surat kabar Bintang Mataram (no. 43 edisi 28 Februari 1929) juga melukiskan kesan:
“Ia selaen seorang pemimpin jang ahli berpidato, dalam kalangan Journalistiek poen ia terhitoeng tadjem penanja.”
Keterlibatan dengan Central Syarikat Islam
Haji Fachrodin juga merintis penerbitan surat kabar sewaktu dia masuk dalam jajaran Centraal Sarekat Islam (CSI). Pada tahun 1920, ketika terbentuk kepengurusan baru di tubuh CSI, Fachrodin mendapat amanat menjadi commissaris, lalu diangkat menjadi penningmeester (bendahara). Selama menjabat sebagai penningmeester, Fachrodin berjuang keras membidani lahirnya surat kabar organ CSI, Pemberita CSI (Yunus Anis, 1969: 19).
Bersama kawan-kawan di jajaran struktural CSI, Fachrodin juga menerbitkan surat kabar Bendera Islam di Yogyakarta pada sekitar tahun 1920-an. Salah seorang kawan dekat Fachrodin yang terlibat mengelola surat kabar ini adalah Haji Agoes Salim. Surat kabar ini tidak banyak berkembang di Yogyakarta. Setelah pindah ke Weltevreden, surat kabar ini berganti nama menjadi Fadjar Asia.
Bakat alamiah Fachrodin sebagai pengarang menjadikan dia selalu bersemangat menerbitkan sebuah surat kabar. Sejak tahun 1923, Haji Fachrodin menerbitkan surat kabar Bintang Islam. Dia mengajak kawan-kawan aktivis Muhammadiyah di Solo yang disingkirkan dari Medan-Moeslimin dan Islam Bergerak oleh Haji Misbach untuk bergabung dalam penerbitan surat kabar baru ini
Pahlawan Nasional
Pada hari Rabu, 27 Februari 1929, Haji Fachrodin menghembuskan nafas terakhirnya setelah dirawat di Rumah Sakit PKO Muhammadiyah Yogyakarta. Pasca pemberlakuan disiplin partai di tubuh Partai Sarekat Islam (PSI), Haji Fachrodin memang sudah sering sakit-sakitan.
Kabar meninggal Haji Fachrodin memang cukup mengejutkan pada waktu itu. Haji Fachrodin lahir pada tahun 1890 dan meninggal pada tahun 1929. Dengan demikian, Haji Fachrodin meninggal dalam usia 39 tahun atau memasuki 40 tahun. Kerabat, kawan dekat, dan organisasi yang pernah menjadi medan perjuangannya langsung memberikan ucapan bela sungkawa dan apresiasi terhadap tokoh yang satu ini.
Beberapa tokoh nasional hadir dalam acara pemakaman Haji Fachrodin, seperti Soekiman Wirjosandjojo, Soerjopranoto, dan Ki Hadjar Dewantara. Keluarga besar Muhammadiyah dari berbagai daerah mengutus perwakilan untuk menghadiri pemakaman ini.
Beberapa surat kabar nasional yang memuat berita meninggal Haji Fachrodin adalah: Bintang Timoer (edisi no. 48 tanggal 28 Februari 1929/Weltevreden), Mataram (edisi no. 51 tanggal 28 Februari 1929/Yogyakarta), Fadjar Asia (edisi no. 44 tanggal 28 Februari 1929/Weltevreden), Bintang Mataram (edisi no. 43 tanggal 28 Februari 1929/Yogyakarta), De Locomotif (edisi no. 57 tanggal 9 Maret 1929/Semarang), Pandji Poestaka (edisi no. 19 tanggal 5 Maret 1929/Weltevreden), Soeloeh Ra’jat Indonesia (edisi no. 9 tanggal 27 Februari 1929), Soeara Moehammadijah dan Soeara Aisjijah (edisi kongres).
Setelah Indonesia merdeka, pemerintah Republik Indonesia memberikan anugrah Pahlawan Nasional kepada Haji Fachrodin. Surat Keputusan Presiden Republik Indonesia nomor 162 tahun 1964 menganugrahkan gelar Pahlawan Nasional kepada Haji Fachrodin dan K.H. Mas Mansur.
Haji Fachruddin adalah contoh kader Muhammadiyah yang aktif dalam berbagai aktifitas. Baik aktifitas politk di CSI dan PSI maupun aktifitasnya di bidang jurnalistik namun tidak menanggalkan identitasnya sebagai kader dan pimpinan Muhammadiyah.
Pada masa kepemimpinan KH. Ahmad Dahlan, Haji Fachruddin Majelis Tabligh Muhammadiyah, memimpin kepanduan Hizbul Wathan, mendirikan Suara Muhammadiyah dan Badan Penolong Haji.
Dalam aktifitas politiknya pun Haji Fachruddin banyak bergaul dengan tokoh-tokoh kiri seperti Mas Marco atau Haji Misbach. Tapi pergalaun Haji Fachruddin dengan mereka tidak membuat dirinya terjebak pada gerakan-gerakan kiri, yang hidup pada masa itu.
Dalam pandangan keagamaan Haji Fachruddin adalah salah satu
tokoh Muhammadiyah yang menolak gerakan Kristenisasi ditanah jawa. Beliau
menyerukan gerakan Pan Islamisme sebagaimana gagasan Djamaluddin Al Afghani dan
murid-muridnya. Bersama dengan
Muhammadiyah Fachruddin memantapkan diri
“memurnikan Islam” hayatnya.
Sumber Tulisan :
Muarif dalam Alif. Id
diakses 25 Februari 2021
Tirto.id diakses 25 Februari 2021